Ini adalah sekelumit kejadian di
masa lalu yang di kemudian hari menjadi salah satu alasan mengapa saya membuat
blog ini.
Malam itu, saya dan istri berencana
makan sari laut. Anak-anak sedang bermain di rumah oma-nya. Setelah ditimbang-timbang,
kami memutuskan untuk makan sari laut di samping Anugerah Perdana. Saya memesan
tahu dan ampela, sementara istri saya memesan ayam. Untuk minumnya, kami berdua
sama-sama memesan es jeruk. Sambil menunggu pesanan kami datang, saya dan istri
lalu mengobrol ngalor-ngidul. Suasana warung lumayan ramai. Aroma ayam goreng,
jeruk, dan parfum murahan memenuhi udara di dalam warung yang cukup pengap.
Di tengah-tengah obrolan, pesanan
kami datang. Saya dan istri menghentikan sejenak obrolan yang sedang
berlangsung dan mulai menikmati hidangan di hadapan kami. Saat sedang asyik
melahap sepotong tahu, istri saya berkata bahwa, seingat dia, warung sari laut
ini merupakan warung sari laut pertama yang ada di Luwuk. Saya tidak percaya
begitu saja dan meminta apa buktinya. Istri saya meneguk es jeruknya lalu
tampak berpikir. Ia bercerita bahwa dulu waktu masih kecil, almarhum bapaknya
selalu mengajaknya makan sari laut di tempat ini.
Obrolan itu selalu
terngiang-ngiang di kepala saya. Apakah benar warung itu adalah warung sari
laut pertama di Luwuk? Sampai detik ini saya belum mendapatkan jawabannya. Meski
sering makan di situ saya tidak pernah menyempatkan diri untuk bertanya kepada
pemiliknya. Saya selalu suka membaca sejarah sebuah bisnis; bagaimana mereka
memulai, suka dukanya, hingga akhirnya bisnis itu meraih takdir kesuksesannya
di tengah-tengah ketatnya persaingan. Secuil informasi yang saya dapatkan dari istri saya malam itu mengundang rasa ingin tahu saya lebih banyak.
Dari istri saya pula saya
mengetahui tentang warung ikan bakar pertama di Luwuk. Adalah warung ikan bakar
Maros di Tanjung milik Haji Jibril, akunya. Saya pernah memverikasinya langsung
kepada pemiliknya yang kebetulan saya kenal dan saya mendapati jawaban yang
masih normatif dari pak Haji. “Dulu belum ada yang jual ikan bakar di Luwuk ini
dan baru saya orang pertama yang buka warung ini”, ujarnya kala itu. Saya
sebenarnya ingin mengobrol lebih lama, namun karena ada satu dan lain hal saya
mengurungkan niat itu. Dan sampai detik ini pula, pertanyaan-pertanyaan yang
belum tuntas terjawab itu masih saya setia menyemang di dalam kepala.
Di luar dua hal di atas, saya
menyimpan rasa penasaran yang sama dengan lini usaha serba pertama lain yang
turut menjadi pondasi peradaban kota ini di masa silam seperti: rumah makan
padang pertama dan relasinya dengan komunitas Minang di kota ini, rumah makan
coto dan konro, bahkan rumah makan Jawa Timuran yang menyebar hampir merata di
seantero kota ini. Termasuk juga kisah-kisah tentang warung nasi kuning yang nyaris
selalu ada di setiap tikungan dan kisah-kisah lain seputar dunia usaha yang
berdesak-desakan di dalam lekukan kota ini.
Berbincang tentang sejarah dunia
usaha di Luwuk, dalam hal ini sejarah rumah makan, maka sekaligus juga berbicara
tentang sejarah interaksi sebuah kota dengan manusia yang menyemang di bawah langitnya,
bagaimana pola interaksi yang terbentuk di antara mereka, dan apa pengaruhnya
terhadap perkembangan kota ini dari masa ke masa. Karena dengan dibukanya
sebuah warung makan, maka ada hukum ekonomi yang berlaku di sana. Orang-orang
itu tidak akan berani membuka usaha sebuah warung makan yang berkorelasi ke
etnis tertentu yang mendatangi kota ini bila jumlah mereka belum pada taraf
yang signifikan. Belum lagi jika menu yang ditawarkan berbenturan dengan selera
masyarakat lokal yang tak selalu selaras dengan resep aslinya. Maka dalam hal
ini, akan ada interaksi antar budaya yang akhirnya akan menghasilkan sebuah
produk kebudayaan yang baru.
Hal-hal lain yang juga membuat saya tertarik untuk mencari tahu lebih jauh dengan sejarah kecil yang memahat wajah daerah ini adalah tentang riwayat Jembatan Lobu sebagai satu-satunya jembatan kayu peninggalan Belanda yang masih tersisa di Sulawesi Tengah, kisah Tangga 100 di kilo tiga yang isunya juga peninggalan Belanda, sejarah berpindahnya aliran Sungai Jole karena banjir bandang pada tahun 80'an, tsunami yang sempat 'mampir' di pesisir pantai ini di awal tahun 2000an silam, dan kisah-kisah lain. Ingin rasanya saya merangkai semua peristiwa itu sehingga saya dapat lebih memahami sejarah tempat ini secara lebih mendalam, bukan hanya soal jadwal penerbangan yang keluar masuk ke kota ini saja.
Hal-hal lain yang juga membuat saya tertarik untuk mencari tahu lebih jauh dengan sejarah kecil yang memahat wajah daerah ini adalah tentang riwayat Jembatan Lobu sebagai satu-satunya jembatan kayu peninggalan Belanda yang masih tersisa di Sulawesi Tengah, kisah Tangga 100 di kilo tiga yang isunya juga peninggalan Belanda, sejarah berpindahnya aliran Sungai Jole karena banjir bandang pada tahun 80'an, tsunami yang sempat 'mampir' di pesisir pantai ini di awal tahun 2000an silam, dan kisah-kisah lain. Ingin rasanya saya merangkai semua peristiwa itu sehingga saya dapat lebih memahami sejarah tempat ini secara lebih mendalam, bukan hanya soal jadwal penerbangan yang keluar masuk ke kota ini saja.
Saya bukan seorang sosiolog yang
punya kemampuan menganalisa fenomena ini berdasarkan teori-teori ilmu sosial. Saya
hanya orang yang sedang tertarik dengan perkembangan sebuah kota dimana saya
hidup dan anak-anak saya lahir di bawah langitnya. Sebuah kota kecil yang
tengah menggeliat dengan segala permasalahannya dan secara perlahan kehilangan
memori perjalanannya dikarenakan pengabaian oleh generasi-generasi yang makin
hari kian sibuk dengan dirinya sendiri. [historialuwuk]
Kilongan, Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar