Catatan seputar hal-hal kecil yang menjadi bagian dari sejarah kota Luwuk, karena apa yang terucap akan hilang dilupakan dan yang tertulis akan abadi sepanjang zaman.

Minggu, 13 Juli 2014

Tentang Perkembangan Sebuah Kota

14.56 Posted by Unknown , No comments
Ini adalah sekelumit kejadian di masa lalu yang di kemudian hari menjadi salah satu alasan mengapa saya membuat blog ini.

Malam itu, saya dan istri berencana makan sari laut. Anak-anak sedang bermain di rumah oma-nya. Setelah ditimbang-timbang, kami memutuskan untuk makan sari laut di samping Anugerah Perdana. Saya memesan tahu dan ampela, sementara istri saya memesan ayam. Untuk minumnya, kami berdua sama-sama memesan es jeruk. Sambil menunggu pesanan kami datang, saya dan istri lalu mengobrol ngalor-ngidul. Suasana warung lumayan ramai. Aroma ayam goreng, jeruk, dan parfum murahan memenuhi udara di dalam warung yang cukup pengap.

Di tengah-tengah obrolan, pesanan kami datang. Saya dan istri menghentikan sejenak obrolan yang sedang berlangsung dan mulai menikmati hidangan di hadapan kami. Saat sedang asyik melahap sepotong tahu, istri saya berkata bahwa, seingat dia, warung sari laut ini merupakan warung sari laut pertama yang ada di Luwuk. Saya tidak percaya begitu saja dan meminta apa buktinya. Istri saya meneguk es jeruknya lalu tampak berpikir. Ia bercerita bahwa dulu waktu masih kecil, almarhum bapaknya selalu mengajaknya makan sari laut di tempat ini.

Obrolan itu selalu terngiang-ngiang di kepala saya. Apakah benar warung itu adalah warung sari laut pertama di Luwuk? Sampai detik ini saya belum mendapatkan jawabannya. Meski sering makan di situ saya tidak pernah menyempatkan diri untuk bertanya kepada pemiliknya. Saya selalu suka membaca sejarah sebuah bisnis; bagaimana mereka memulai, suka dukanya, hingga akhirnya bisnis itu meraih takdir kesuksesannya di tengah-tengah ketatnya persaingan. Secuil informasi yang saya dapatkan dari istri saya malam itu mengundang rasa ingin tahu saya lebih banyak.

Dari istri saya pula saya mengetahui tentang warung ikan bakar pertama di Luwuk. Adalah warung ikan bakar Maros di Tanjung milik Haji Jibril, akunya. Saya pernah memverikasinya langsung kepada pemiliknya yang kebetulan saya kenal dan saya mendapati jawaban yang masih normatif dari pak Haji. “Dulu belum ada yang jual ikan bakar di Luwuk ini dan baru saya orang pertama yang buka warung ini”, ujarnya kala itu. Saya sebenarnya ingin mengobrol lebih lama, namun karena ada satu dan lain hal saya mengurungkan niat itu. Dan sampai detik ini pula, pertanyaan-pertanyaan yang belum tuntas terjawab itu masih saya setia menyemang di dalam kepala.

Di luar dua hal di atas, saya menyimpan rasa penasaran yang sama dengan lini usaha serba pertama lain yang turut menjadi pondasi peradaban kota ini di masa silam seperti: rumah makan padang pertama dan relasinya dengan komunitas Minang di kota ini, rumah makan coto dan konro, bahkan rumah makan Jawa Timuran yang menyebar hampir merata di seantero kota ini. Termasuk juga kisah-kisah tentang warung nasi kuning yang nyaris selalu ada di setiap tikungan dan kisah-kisah lain seputar dunia usaha yang berdesak-desakan di dalam lekukan kota ini.

Berbincang tentang sejarah dunia usaha di Luwuk, dalam hal ini sejarah rumah makan, maka sekaligus juga berbicara tentang sejarah interaksi sebuah kota dengan manusia yang menyemang di bawah langitnya, bagaimana pola interaksi yang terbentuk di antara mereka, dan apa pengaruhnya terhadap perkembangan kota ini dari masa ke masa. Karena dengan dibukanya sebuah warung makan, maka ada hukum ekonomi yang berlaku di sana. Orang-orang itu tidak akan berani membuka usaha sebuah warung makan yang berkorelasi ke etnis tertentu yang mendatangi kota ini bila jumlah mereka belum pada taraf yang signifikan. Belum lagi jika menu yang ditawarkan berbenturan dengan selera masyarakat lokal yang tak selalu selaras dengan resep aslinya. Maka dalam hal ini, akan ada interaksi antar budaya yang akhirnya akan menghasilkan sebuah produk kebudayaan yang baru.

Hal-hal lain yang juga membuat saya tertarik untuk mencari tahu lebih jauh dengan sejarah kecil yang memahat wajah daerah ini adalah tentang riwayat Jembatan Lobu sebagai satu-satunya jembatan kayu peninggalan Belanda yang masih tersisa di Sulawesi Tengah, kisah Tangga 100 di kilo tiga yang isunya juga peninggalan Belanda, sejarah berpindahnya aliran Sungai Jole karena banjir bandang pada tahun 80'an, tsunami yang sempat 'mampir' di pesisir pantai ini di awal tahun 2000an silam, dan kisah-kisah lain. Ingin rasanya saya merangkai semua peristiwa itu sehingga saya dapat lebih memahami sejarah tempat ini secara lebih mendalam, bukan hanya soal jadwal penerbangan yang keluar masuk ke kota ini saja.

Saya bukan seorang sosiolog yang punya kemampuan menganalisa fenomena ini berdasarkan teori-teori ilmu sosial. Saya hanya orang yang sedang tertarik dengan perkembangan sebuah kota dimana saya hidup dan anak-anak saya lahir di bawah langitnya. Sebuah kota kecil yang tengah menggeliat dengan segala permasalahannya dan secara perlahan kehilangan memori perjalanannya dikarenakan pengabaian oleh generasi-generasi yang makin hari kian sibuk dengan dirinya sendiri. [historialuwuk]



Kilongan, Juli 2014 

0 komentar:

Posting Komentar