Catatan seputar hal-hal kecil yang menjadi bagian dari sejarah kota Luwuk, karena apa yang terucap akan hilang dilupakan dan yang tertulis akan abadi sepanjang zaman.

Minggu, 13 Juli 2014

Luwuk dan Sejarah Sebuah Kota Yang (Terancam) Hilang

15.00 Posted by Unknown No comments
Dua puluh enam ribu buku adalah jumlah yang sangat banyak. Jumlah itu bisa jadi belum termasuk manuskrip, dokumen, koleksi foto, serta koleksi arsip-arsip bersejarah, belum lagi bila ditambah dengan data-data penting, artifak, dan barang-barang seni lainnya yang menjadi bagian dari koleksi Perpustakaan Daerah Luwuk. Namun ribuan barang  yang tak ternilai harganya itu ludes nyaris tanpa sisa ketika si jago merah melahap semua koleksi itu pada suatu malam tanggal 9 Januari 2014 silam. Kerugian yang diderita ditaksir hingga mencapai miliaran rupiah.

Siang itu, saya menyengaja datang ke Perpustakaan Daerah Luwuk yang paska kebakaran hebat beberapa bulan lalu kabarnya dipindahkan ke salah satu bangunan yang terletak di kompleks kantor Bupati lama. Setelah bertanya ke satpam dan pegawai Pemda yang sedang mengobrol di dekat situ, saya diarahkan untuk masuk ke bagian perijinan (BPPT atau Badan Pelayanan Perijinan Terpadu) yang berseberangan dengan kantor Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga. Saya lalu masuk ke gedung itu lewat pintu belakang dan belok ke kiri. Tampak deretan lemari besi yang ditempatkan sedemikian rupa di dalam ruangan yang cahayanya agak temaram itu. Aroma buku yang masih baru dan, sepertinya, baru saja keluar dari plastik pembungkusnya, langsung menyeruak, menyapa indra penciuman saya.

Saya lalu masuk ke dalam ruangan besar itu dan mendapati dua orang lelaki muda sedang memperbaiki meja dan kursi. Setelah bertanya ke kanan dan ke kiri, saya bertemu dengan seorang ibu paruh baya yang bermake-up cukup tebal dan menanyakan kepada saya, dengan cukup ramah, beberapa hal seperti asal saya dan maksud kedatangan saya ke tempat itu. Saya jawab bahwa saya dari kantor pajak dan rencananya mau mendaftar kartu perpustakaan sekaligus hendak melihat koleksi buku-buku yang ada di perpustakaan.

Ketika saya berbicara, ada seorang lelaki berpostur pendek gemuk melewati kami dan ibu paruh baya itu langsung memintanya berhenti sebentar. Ibu itu berkata tentang saya dan maksud kedatangan saya kepada lelaki tersebut. Lelaki tersebut memandangi saya beberapa saat dan berkata bahwa, paska kebakaran tempo hari, kegiatan perpustakaan belum berjalan normal, termasuk pendaftaran anggota baru. Saya manggut-manggut mengerti. Lelaki itu lalu menyilakan saya untuk melihat-lihat dulu kondisi perpustakaan yang memang belum sempurna itu. Beberapa kardus buku teronggok di sudut-sudut ruangan yang lantainya masih ngeres dan kotor di beberapa bagian. Saya meminta diri untuk masuk ke salah satu ruangan yang terdiri dari beberapa meja, kursi, dan lemari berisi buku. Lelaki dan ibu yang tadi menyambut saya menyilakan saya dan mereka langsung berlalu.

Ruangan itu tidak terlalu besar. Ukurannya sekitar tiga kali empat setengah atau lima meter. Pada dinding-dindingnya tersandar lemari buku dari besi dan sebuah lemari kayu gantung yang terletak di sudut atas dekat pintu. Seorang ibu muda berjilbab yang sedang duduk di ruangan itu tersenyum kepada saya. Nunung, nama ibu itu. Ia merupakan salah satu staf di perpustakaan ini. Setelah berbasa-basi sebentar, kami berdua lalu berbincang tentang kondisi perpustakaan paska kebakaran.

“Selain puluhan ribu buku, dokumen, arsip, dan foto, ada pula barang-barang bersejarah lain yang ikut terbakar”, terang ibu Nunung.

Saya bertanya, apakah pemerintah daerah memiliki back-up dari arsip, buku, foto, dan dokumen yang hilang tersebut, ibu Nunung kemudian berpikir sejenak dan berkata bahwa beberapa dari barang-barang itu mungkin masih disimpan di Dinas Pariwisata atau di bagian Humas. Saat kami berdua sedang bercerita, istri saya datang ke ruangan tersebut dan ikut berbincang. Saya mungkin jadi orang yang lebih banyak memancing pembicaraan ketika itu. Barangkali ibu Nunung keheranan bahwa di siang yang mendung itu tiba-tiba saja ada seorang pegawai pajak, dan bukan orang asli Luwuk pula, yang banyak bertanya tentang seluk-beluk perpustakaan dan arsip serta dokumen lawas yang berisi tentang Luwuk dan sejarahnya.

Di tengah perbincangan, ibu Nunung undur diri. “Saya mau menjemput anak saya”, katanya dengan ramah. Saya melihat jam di handphone dan menyilakan beliau untuk pamit. Tak lama setelah ibu Nunung pergi, seorang staf perpustakaan bernama Luthfi datang dan kami pun berbincang lagi tentang sejarah Luwuk yang hilang. Tak lama kemudian seorang ibu bersama putranya yang masih TK masuk ke ruangan tersebut. Setelah berbasa-basi, kami pun banyak mengobrol tentang perpustakaan tersebut; rerata jumlah pengunjung harian, jumlah koleksi buku, kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan, dan lain-lain. Satu hal yang membuat kami prihatin adalah hilangnya koleksi buku, arsip, foto-foto, dokumen, manuskrip, dan barang-barang bersejarah lainnya, yang berarti hilangnya riwayat sebuah kota, sebuah peradaban dan manusia-manusianya dari pentas sejarah dunia.

Meski bukan orang Luwuk, saya sangat berharap ada aksi riil yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk mengumpulkan kembali arsip, dokumen, foto, dan barang-barang sejarah lainnya yang masih tersisa dan, mungkin saja, berceceran di tangan banyak pihak, agar generasi muda Luwuk di masa depan tidak kehilangan jati diri mereka sebagai sebuah generasi dengan sejarahnya yang panjang dan berliku. Semoga. [historialuwuk/wn]



Kilongan, Juni 2014 


Sumber: wahidnugroho.com

Tentang Perkembangan Sebuah Kota

14.56 Posted by Unknown , No comments
Ini adalah sekelumit kejadian di masa lalu yang di kemudian hari menjadi salah satu alasan mengapa saya membuat blog ini.

Malam itu, saya dan istri berencana makan sari laut. Anak-anak sedang bermain di rumah oma-nya. Setelah ditimbang-timbang, kami memutuskan untuk makan sari laut di samping Anugerah Perdana. Saya memesan tahu dan ampela, sementara istri saya memesan ayam. Untuk minumnya, kami berdua sama-sama memesan es jeruk. Sambil menunggu pesanan kami datang, saya dan istri lalu mengobrol ngalor-ngidul. Suasana warung lumayan ramai. Aroma ayam goreng, jeruk, dan parfum murahan memenuhi udara di dalam warung yang cukup pengap.

Di tengah-tengah obrolan, pesanan kami datang. Saya dan istri menghentikan sejenak obrolan yang sedang berlangsung dan mulai menikmati hidangan di hadapan kami. Saat sedang asyik melahap sepotong tahu, istri saya berkata bahwa, seingat dia, warung sari laut ini merupakan warung sari laut pertama yang ada di Luwuk. Saya tidak percaya begitu saja dan meminta apa buktinya. Istri saya meneguk es jeruknya lalu tampak berpikir. Ia bercerita bahwa dulu waktu masih kecil, almarhum bapaknya selalu mengajaknya makan sari laut di tempat ini.

Obrolan itu selalu terngiang-ngiang di kepala saya. Apakah benar warung itu adalah warung sari laut pertama di Luwuk? Sampai detik ini saya belum mendapatkan jawabannya. Meski sering makan di situ saya tidak pernah menyempatkan diri untuk bertanya kepada pemiliknya. Saya selalu suka membaca sejarah sebuah bisnis; bagaimana mereka memulai, suka dukanya, hingga akhirnya bisnis itu meraih takdir kesuksesannya di tengah-tengah ketatnya persaingan. Secuil informasi yang saya dapatkan dari istri saya malam itu mengundang rasa ingin tahu saya lebih banyak.

Dari istri saya pula saya mengetahui tentang warung ikan bakar pertama di Luwuk. Adalah warung ikan bakar Maros di Tanjung milik Haji Jibril, akunya. Saya pernah memverikasinya langsung kepada pemiliknya yang kebetulan saya kenal dan saya mendapati jawaban yang masih normatif dari pak Haji. “Dulu belum ada yang jual ikan bakar di Luwuk ini dan baru saya orang pertama yang buka warung ini”, ujarnya kala itu. Saya sebenarnya ingin mengobrol lebih lama, namun karena ada satu dan lain hal saya mengurungkan niat itu. Dan sampai detik ini pula, pertanyaan-pertanyaan yang belum tuntas terjawab itu masih saya setia menyemang di dalam kepala.

Di luar dua hal di atas, saya menyimpan rasa penasaran yang sama dengan lini usaha serba pertama lain yang turut menjadi pondasi peradaban kota ini di masa silam seperti: rumah makan padang pertama dan relasinya dengan komunitas Minang di kota ini, rumah makan coto dan konro, bahkan rumah makan Jawa Timuran yang menyebar hampir merata di seantero kota ini. Termasuk juga kisah-kisah tentang warung nasi kuning yang nyaris selalu ada di setiap tikungan dan kisah-kisah lain seputar dunia usaha yang berdesak-desakan di dalam lekukan kota ini.

Berbincang tentang sejarah dunia usaha di Luwuk, dalam hal ini sejarah rumah makan, maka sekaligus juga berbicara tentang sejarah interaksi sebuah kota dengan manusia yang menyemang di bawah langitnya, bagaimana pola interaksi yang terbentuk di antara mereka, dan apa pengaruhnya terhadap perkembangan kota ini dari masa ke masa. Karena dengan dibukanya sebuah warung makan, maka ada hukum ekonomi yang berlaku di sana. Orang-orang itu tidak akan berani membuka usaha sebuah warung makan yang berkorelasi ke etnis tertentu yang mendatangi kota ini bila jumlah mereka belum pada taraf yang signifikan. Belum lagi jika menu yang ditawarkan berbenturan dengan selera masyarakat lokal yang tak selalu selaras dengan resep aslinya. Maka dalam hal ini, akan ada interaksi antar budaya yang akhirnya akan menghasilkan sebuah produk kebudayaan yang baru.

Hal-hal lain yang juga membuat saya tertarik untuk mencari tahu lebih jauh dengan sejarah kecil yang memahat wajah daerah ini adalah tentang riwayat Jembatan Lobu sebagai satu-satunya jembatan kayu peninggalan Belanda yang masih tersisa di Sulawesi Tengah, kisah Tangga 100 di kilo tiga yang isunya juga peninggalan Belanda, sejarah berpindahnya aliran Sungai Jole karena banjir bandang pada tahun 80'an, tsunami yang sempat 'mampir' di pesisir pantai ini di awal tahun 2000an silam, dan kisah-kisah lain. Ingin rasanya saya merangkai semua peristiwa itu sehingga saya dapat lebih memahami sejarah tempat ini secara lebih mendalam, bukan hanya soal jadwal penerbangan yang keluar masuk ke kota ini saja.

Saya bukan seorang sosiolog yang punya kemampuan menganalisa fenomena ini berdasarkan teori-teori ilmu sosial. Saya hanya orang yang sedang tertarik dengan perkembangan sebuah kota dimana saya hidup dan anak-anak saya lahir di bawah langitnya. Sebuah kota kecil yang tengah menggeliat dengan segala permasalahannya dan secara perlahan kehilangan memori perjalanannya dikarenakan pengabaian oleh generasi-generasi yang makin hari kian sibuk dengan dirinya sendiri. [historialuwuk]



Kilongan, Juli 2014 

Obrolan Sore Hari

08.28 Posted by Unknown No comments
Sore ini saya bertemu dengan seorang teman. Namanya Abdi Putra Yasibang. Ia adalah seorang apoteker lulusan sebuah universitas ternama di Yogyakarta.  Saya biasa memanggilnya Abdi. Abdi merupakan orang asli Luwuk yang cerdas. Ia tak banyak bicara, punya kemampuan analisa yang tajam dan sistematis, pintar berorasi, dan pemilihan kata-katanya ketika berbicara sangat baik dan santun. Mungkin karena sejak mudanya ia rajin berorganisasi dan berada dalam lingkungan Yogya yang terkenal dengan kehalusan tata kramanya.

Acara aksi Munasharah Palestina baru saja akan dimulai. Saya dan beberapa peserta lainnya, termasuk Abdi, masih duduk-duduk di teras Masjid Muttahidah sambil menunggu peserta lainnya datang. Di sela-sela penantian, saya dan Abdi mengobrol tentang rencananya mengirimkan tulisan ke Luwuk Post namun masih urung karena ketiadaan ide. Saya lalu menawarinya beberapa topik dan menyarankannya untuk berlepas diri dari model tulisan yang ribet dan berat. Cukup buat tulisan-tulisan ringan seputar kota Luwuk dan problematikanya saja, sekaligus menawarkan solusi dari problematika yang ada itu.

Saya memberi contoh saat dua tulisan saya tentang perpustakaan daerah tempo hari dimuat oleh Luwuk Post. Keesokan harinya setelah tulisan itu dimuat, Luwuk Post menampilkan berita tentang perkembangan kegiatan Perpustakaan Daerah semisal pendataan dan pembelian buku-buku baru. Munculnya berita tentang Perpustakaan Daerah paska tulisan saya dimuat seolah menyiratkan pesan bahwa tulisan cupu saya tempo hari itu mungkin dibaca oleh pejabat terkait sehingga mereka merasa perlu membuktikan keraguan saya melalui rilis berita di koran lokal yang juga perpanjangan dari Jawa Pos itu.

Di antara beberapa rekomendasi yang saya berikan kepadanya ialah, tentang sebuah komunitas kecil yang sedang saya gagas bersama beberapa teman lainnya dimana komunitas ini memiliki concern terhadap humaniora Luwuk serta sejarah remeh-temeh yang mengiringi tumbuh-kembang kota ini dari masa ke masa. Kekhawatiran akan abainya generasi muda Luwuk untuk menggali sejarah daerah yang turut membangun identitas mereka sampai detik ini menjadi salah satu pertimbangan saya. Pertimbangan yang sangat naif, sebenarnya.

Abdi menyimak kata-kata saya dengan seksama dan dia tampak sangat tertarik karenanya. Saat obrolan kami berakhir, ia menyatakan kesiapan dirinya untuk bergabung ke dalam tim kecil itu dan menunggu kabar lanjutan dari saya. Saya berkata kepadanya bahwa pertemuan lanjutan akan diadakan setelah urusan capres ini selesai dan karenanya ada waktu yang agak sedikit luang yang dapat dimanfaatkan.

Semoga ke depannya urusan ini bisa mencapai titik terangnya. [historialuwuk]




Kilongan, Juli 2014

Sabtu, 07 Juni 2014

Historia Luwuk: Sebuah Editorial

00.44 Posted by Unknown No comments
Luwuk semakin berkembang. Denyut kota yang mayoritas diisi dengan warga pendatang ini semakin terasa ketika kran investigasi migas mulai dibuka sejak tahun 2010 yang lalu. Setelah itu, arus pendatang semakin membludak dari hari ke hari. Salah satu lini usaha yang kian hari makin diminati adalah pariwisata. Terbilang beberapa usaha jasa akomodasi mulai dari penginapan kelas teri sampai hotel berbintang sekian dibangun di atas tanah kota ini.

Wilayah-wilayah yang tadinya masih berupa tanah kosong dan lahan non produktif bertransformasi menjadi pemukiman padat penduduk yang diiringi dengan meningkatnya nilai jual properti yang turut memengaruhi taraf kehidupan masyarakat. Dengan kondisi alamnya yang indah dan eksotis, Luwuk menyimpan beragam potensi pariwisata yang menarik dan layak untuk dijadikan salah satu referensi kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Boleh dibilang, Luwuk sudah memiliki segala yang dibutuhkan oleh sebuah industri pariwisata.

Luwuk memang nama yang masih kurang familiar di telinga kebanyakan orang. Tidak seperti daerah lain di daratan Sulawesi yang lebih punya nama mentereng seperti Manado, Makassar, Palu, Gorontalo, Toraja atau Wakatobi di Sulawesi Tenggara, misalnya. Bahkan nama Luwuk tidak sefamiliar nama Togean yang reputasinya sudah begitu mendunia. Lalu apa yang salah dengan Luwuk sehingga potensi wisata yang berlimpah ini tidak mendapat respon maksimal dari para wisatawan, baik lokal maupun internasional? Jawabannya sangat mudah: informasi tentang Luwuk dan keindahan alamnya masih sangat minim.

Ini memang sebuah kenyataan yang cukup mengecewakan karena sebenarnya ada banyak sekali potensi wisata yang dimiliki oleh daerah ini, dimana apabila kesemua potensi yang ada itu dikelola dan dipublikasi dengan sistematika yang baik maka kesemua potensi itu dapat dikonversi menjadi peluang untuk mensejahterakan rakyat, sekaligus untuk menunjukkan kepada khalayak tentang sejarah sebuah kota yang tengah bergulat dengan masa depannya.

Oleh karenanya, ketika orang lain mulai abai dengan sejarah sebuah kota yang menjadi wilayah perjuangannya demi menjemput takdirnya, kami mengumpulkan keping demi keping sejarah yang berserak itu dan menyajikannya kembali kepada mereka. Ketika orang lain mencukupi dirinya dengan ingatan yang kerap berkhianat, kami menuliskannya agar ia tetap teringat dan terekam kuat.

Blog ini adalah sebuah upaya sederhana kami untuk mengejawantahkan keinginan yang menghentak jiwa itu ke ranah amal dan kerja nyata. Tulisan-tulisan yang ada di blog ini bisa jadi tidak semuanya benar. Bisa jadi ada satu dua keping data yang tidak sesuai dengan fakta, atau bahkan keseluruhannya. Oleh karenanya, kritik dan saran dari Anda kami harapkan melalui email sejarahkecilluwuk[at]gmail[dot]com. Salam historia. [historialuwuk.blogspot.com]



Kilongan, Juni 2014 


Sumber gambar